Minggu, 08 Maret 2009

Biodiesel di Pulau Seliu

Latar Belakang
Sektor energi merupakan sektor yang memiliki kontribusi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan suatu negara/wilayah. Seluruh aktivitas perekonomian wilayah tergantung pada pasokan energi yang tersedia, dimana semakin tinggi aktivitas perekonomian maka semakin tinggi pula kebutuhan akan pasokan energi. Menurut Armida S. Alisjahbana (1999), ada tiga hal pokok dalam pembangunan sektor energi di negara-negara berkembang, yaitu: i) meningkatkan efisiensi sektor energi; ii) memperluas akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap penggunaan energi modern; dan iii) keterkaitan energi dan lingkungan
Ketiga hal pokok tersebut telah menjadi tema reformasi institusional sektor energi di banyak negara berkembang sejak tahun 1990an. Selain itu peningkatan efisiensi energi, akses terhadap energi, dan keterkaitan antara energi dan lingkungan juga menjadi agenda komunitas global, yang antara lain dirumuskan dalam Agenda 21 Global tentang Pembangunan Berkelanjutan dan dokumen Millenium Development Goals Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kondisi pembangunan sektor energi di Indonesia masih berjalan lamban, hal ini ditandai dengan tingginya ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang bersifat non renewable (minyak bumi dan batu bara), semakin menipisnya cadangan sumber energi fosil, dan semakin tingginya biaya ekstraksi. Dengan demikian maka sektor perekonomian di Indonesia pada saat ini sangat tergantung pada ketersediaan energi fosil yang cadangannya semakin menipis dengan harga yang akan semakin meningkat di masa depan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan antisipasi terhadap permasalahan energi dengan berupaya mengembangkan sumber energi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Sumber energi alternatif ini diharapkan dapat menyediakan energi pengganti secara berkelanjutan dan mampu menghemat pemakaian cadangan energi fosil.
Pada tahun 2006, Presiden telah mengeluarkan Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang intinya mengajak seluruh lapisan masyarakat, birokrat, dan pengusaha untuk menggiatkan penggunaan energi alternatif. Imbauan ini ditujukan untuk menghemat energi fosil (minyak bumi) yang semakin terbatas, menghemat devisa negara, dan antisipasi terhadap ancaman kemampuan fiskal, serta mengajak komponen bangsa untuk turut memikirkan permasalahan nasional ini.
Salah satu alternatif sumber energi adalah biodiesel yang dihasilkan oleh tanaman jarak pagar. Keunggulan tanaman jarak pagar adalah tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang tinggi, dan dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur dengan syarat memiliki drainase yang baik. Dengan persyaratan tumbuh seperti itu maka tanaman ini dapat dikembangkan pada lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang memiliki daya dukung terbatas seperti pada pulau-pulau kecil di pelosok wilayah Indonesia. Upaya pengembangan komoditas ini pada pulau-pulau kecil akan membantu masyarakat di daerah terisolir untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar yang selama ini tergantung sepenuhnya kepada pasokan dari luar. Selain itu, teknologi pengolahan biodiesel yang sederhana akan memudahkan upaya introduksi teknologi kepada masyarakat.
Pulau Seliu merupakan salah satu pulau kecil dengan status pemerintahan desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Belitung. Desa pulau ini terpisah dari pulau induk dan dikelilingi oleh Laut Jawa. Pasokan barang dan energi/bahan bakar bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat desa didatangkan dari Pulau Belitung, sehingga tingkat ketergantungan terhadap pulau induk cukup tinggi. Kebutuhan energi yang paling utama adalah untuk penerangan listrik (PLTD) dan bahan bakar perahu motor laut. Tanpa pasokan yang mencukupi maka aktivitas perekonomian desa akan lumpuh karena karakteristik wilayah yang terisolasi.
Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi di Pulau Seliu adalah dengan pengembangan tanaman jarak pagar untuk menghasilkan biodiesel. Kondisi pemanfaatan lahan oleh penduduk yang masih rendah (10,76 %) menyediakan luasan lahan yang masih mencukupi untuk pengembangan komoditas tanaman jarak. Selain itu kondisi lahan Pulau Seliu yang kurang subur, dengan klasifikasi pasir berlempung, dan memiliki darainase yang baik memungkinkan tanaman jarak pagar untuk dapat tumbuh dengan optimal.
Biodiesel yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan energi desa, dan dapat dijual sebagai komoditas andalan baru bagi Pulau Seliu.

Isu pokok pemenuhan kebutuhan energi pada saat ini adalah:
· tingginya laju konsumsi energi dunia, terutama energi fosil, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia;
· keterbatasan cadangan, dan tingginya biaya ekstraksi sumber energi non-renewable (energi fosil);
· kondisi geografis wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, yang menyebabkan ketimpangan distribusi bahan bakar yang dibutuhkan masyarakat;
· keterbatasan sumberdaya yang ada di kepulauan kecil menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap pasokan energi dari luar pulau;
· adanya peluang pengembangan energi alternatif dengan teknologi sederhana yang dapat diintroduksi kepada masyarakat, yaitu biodiesel dari tanaman jarak;
· alokasi pola pemanfaatan ruang di pulau kecil harus memperhatikan keterbatasan daya dukung lingkungan kepulauan.

Permasalahan utama pemenuhan kebutuhan energi Desa Pulau Seliu adalah:
· ketergantungan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat Desa Pulau Seliu yang sangat tinggi terhadap pasokan energi fosil atau bahan bakar minyak (solar dan bensin) dari Pulau Belitung (Pulau Induk);
· introduksi budidaya tanaman jarak pagar dan teknologi pengolahan energi alternatif kepada masyarakat harus memperhatikan keterbatasan daya dukung lingkungan di Desa Pulau Seliu

Jenis dan Morfologi Tanaman Jarak Pagar
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar (Richinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica ), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar (biodiesel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas).
Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, yang mana masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar pekarangan. Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan kepada tanaman jarak pagar ini antara lain Sunda (jarak kosta, jarak budeg), Jawa (jarak gundul, jarak pager), Madura (kalekhe paghar), Bali (jarak pager), Nusatenggara (lulu mau, paku kase, jarak pageh), Alor (kuman nema), Sulawesi (jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene), Maluku (ai huwa kamala, balacai, kadoto).
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubikayu. Pohonnya berupa perdu dengan tinggi tanaman 1 – 7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris bila terluka mengeluarkan getah. Daun berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 4 – 15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul diujung batang atau ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2 – 4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing – masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30–40 %.

Aspek Budidaya Tanaman Jarak Pagar
Selama ini budidaya tanaman jarak belum dilakukan masyarakat untuk tujuan agribisnis. Umumnya tanaman ini ditanam sebagai pagar pekarangan sehingga namanya dikenal sebagai jarak pagar. Dalam pengembangan budidaya tanaman jarak pagar pada lahan kritis perlu diperhatikan persyaratan lingkungan tumbuh dan aspek keagronomian (budidaya) sebagai berikut :
Persyaratan Lingkungan Tumbuh
Tanaman jarak sebagai tanaman yang cukup bandel, dalam arti mudah beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya, menghendaki lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhannya, dengan Latitude 50° LU – 40° LS, Altitude 0 – 2000 m dpl, suhu berkisar antara 18° – 30° C. Pada daerah dengan suhu rendah (< 18° C) menghambat pertumbuhan, sedangkan pada suhu tinggi (> 35°C) menyebabkan gugur daun dan bunga, buah kering sehingga produksi menurun. Curah hujan antara 300 mm – 1200 mm per tahun. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5
Persiapan Lahan
Kegiatan persiapan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari semak belukar terutama disekitar calon tempat tanam. Pengajiran dilakukan dengan menancapkan ajir (dari bambu atau batang kayu) dengan jarak tanam disesuaikan dengan rencana populasi tanaman yang diharapkan. Penanaman dengan jarak tanam 2.0 m x 3.0 m (populasi 1600 pohon/ha), 2.0 m x 2.0 m (populasi 2500 pohon/ha) atau 1.5 m x 2.0 m (populasi 3300 pohon/ha). Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1.5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm.
Pembibitan
Bahan tanam dapat berasal dari setek cabang atau batang, maupun benih. Bahkan penyediaan bibit dengan teknik kultur jaringan dimungkinkan. Jika menggunakan setek dipilih cabang atau batang yang telah cukup berkayu. Sedangkan untuk benih dipilih dari biji yang telah cukup tua yaitu diambil dari buah yang telah masak biasanya berwarna hitam. Saat ini di Indonesia belum ada varietas maupun klon unggul jarak pagar, sehingga sumber benih masih mengandalkan pengumpulan dari petani. Peluang untuk penelitian ke arah ini masih sangat luas sehingga menjadi tantangan bagi perguruan tinggi maupun lembaga atau balai penelitian.
Pembibitan dapat dilakukan dalam polibag atau di bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) dan dicampur pupuk kandang lebih baik. Setiap polibag ditanami 1 (satu) benih. Tempat pembibitan diberi naungan/atap dengan bahan dapat berupa daun kelapa, jerami atau paranet. Masa pembibitan berkisar 2 – 3 bulan. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (setiap hari 2 kali pagi dan sore), penyiangan, dan seleksi.
Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal atau selama musim penghujan sehingga kebutuhan air bagi tanaman cukup tersedia. Bibit yang ditanam dipilih yang sehat dan cukup kuat serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih. Saat penanaman, tanah disekitar batang tanaman dipadatkan dan permukaannya dibuat agak cembung.
Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan stek cabang atau batang.
Dalam pembudidayaan tanaman jarak disarankan menerapkan sistem tumpangsari dengan tanaman lain seperti jagung, wijen atau padi ladang sehingga selain mengurangi resiko serangan hama penyakit juga diversifikasi hasil. Jika pola penanaman dengan tumpangsari maka jarak tanam digunakan jarak agak lebar misalnya 2.0 m x 3.0 m
Pengendalian Gulma
Gulma disekitar tanaman dikendalikan baik secara manual/mekanis maupun secara kimia. Pelaksanaan pengendalian gulma dapat bersamaan dengan kegiatan pembumbunan barisan tanaman.
Pemupukan
Pada prinsipnya pemberian pupuk bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah setempat. Belum ada dosis rekomendasi khusus untuk tanaman jarak pagar ini. Jika asumsikan sama dengan jarak kepyar maka dosis pupuk untuk tanaman ini per Ha : 80 kg N, 18 kg P2O5 ,32 kg K2O, 12 kg CaO dan 10 kg MgO. Pupuk N diberikan pada saat tanam dan umur 28 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk P, K, Ca dan Mg diberikan saat tanam Pemberian pupuk organik disarankan untuk memperbaiki struktur tanah.

Pemanfaatan Produk Tanaman Jarak
Robert Manurung menegaskan pemanfaatan pokok (valorization) tanaman jarak (khususnya jarak pagar) sebagai sumber bioenergi perlu disertai dengan pemanfaatan lain yang bernilai ekonomis.
Keberhasilan pengembangan biodiesel jarak pagar ini tak hanya tergantung pada aspek pertaniannya, tapi juga sistem pengolahannya menjadi minyak jarak.
Pembangkit Listrik
Menurut Kepala Subbidang Termal dan Mekanik di B2T, Heru Kuncoro, minyak jarak pagar dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik.
Heru Kuncoro merancang sistem pemrosesan biji jarak menjadi biodiesel yang cukup sederhana, terdiri atas mesin pengupas biji, unit pemanas, mesin tekan (pres mekanik), mesin penyaring (filter), pompa, dan perpipaan, serta dilengkapi unit pembangkit listrik berkapasitas 20-40 kilowatt. Sistem itu mampu memproses 10 ton biji jarak dengan waktu operasi 24 jam sehari.
Dengan melihat prototipe sistem skala laboratorium yang dikembangkan B2T dengan kapasitas satu ton dengan pembangkit diesel 5 kilowatt. Minyak jarak pagar yang dihasilkan memiliki angka cetane 51. Ini lebih tinggi dibanding yang dimiliki solar yang hanya 45. Selain itu, titik pengabutan (pour point minyak jarak berada pada suhu 8 derajat Celsius, sedangkan solar 10 derajat Celsius.

Penyediaan Biodiesel
Investasi untuk membuat sistem pemrosesan biji jarak dengan kapasitas produksi 10 ton biji membutuhkan investasi sebesar Rp 1 miliar diluar dari biaya bangunan seluas 300 meter persegi dan lahan kebun yang luasnya 500-1.250 hektar.Jika umur teknis alat adalah 10 tahun, ongkos pemrosesan minyak jarak tersebut Rp 350-600, belum termasuk harga biji jarak pagar.
Analisis ekonomi ini diambil waktu produksi 312 hari per tahun dan 24 jam per hari, dengan rendemen minyak diasumsikan 30-45 persen. Jadi diperoleh minyak 2.623-3.919 liter/hari atau setara dengan 749-1.123 ton per tahun.
Industri minyak jarak ini juga harus menguntungkan penduduk yang menanamnya. Jika harga biji jarak Rp 500/kg, harga minyak jaraknya berkisar Rp 2.100 (pesimistis) hingga Rp1.400 (optimistis). Bila harga biji jarak Rp 800/kg, harga net minyak jarak Rp 3.000 (pesimistis) hingga Rp 2.000 (optimistis).

Manfaat Ekonomi Lain
Robert Manurung menjelaskan, tanaman jarak baru dimanfaatkan hanya 35% sedangkan 65% sisanya belum dimanfaatkan. Baru biji yang dimanfaatkan untuk biodiesel. Dengan valorization, bungkil sisa olahan dari buah jarak ternyata bisa dibuat pupuk nitrogen phospat calcium (NPL). Sedangkan daun dan kulit tanaman jarak dapat dibuat obat dan bahan kimia spesial. Bahkan, daun dan kulit jarak yang dicampur dengan singkong bisa dijadikan bahan plastik yang bisa hancur. Hal ini mengindikasikan adanya mata rantai produksi yang berkesinambungan antar komoditas pertanian lain.


Kerangka Pemikiran
Keterbatasan daya dukung lahan di Pulau Seliu bagi aktivitas pertanian intensif menyebabkan pola subsistensi masyarakat lebih dominan mengandalkan sumberdaya alam kelautan. Pola subsistensi ini sangat tergantung pada kondisi alam, dimana pada musim barat (desember – pebruari) para nelayan tidak dapat melaut. Pada waktu itu maka penduduk setempat beralih pada usaha home industry emping melinjo.
Keterbatasan infrastruktur ekonomi menyebabkan skala ekonomi Desa Pulau Seliu masih bersifat subsistence, dan sangat tergantung kepada pasokan BBM dan barang dari Pulau Belitung sementara perdagangan komoditas andalan desa (hasil laut, mangga, dan melinjo) belum dapat memacu peningkatan investasi desa. Untuk mendorong peningkatan skala ekonomi maka dibutuhkan suatu usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal akan tetapi sesuai dengan daya dukung lahan yang marginal.
Penanaman jarak pagar (Jatropha curcas) dapat menjadi solusi bagi peningkatan skala ekonomi dengan mengoptimalkan potensi lahan yang terbatas. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan marjinal dengan pola budidaya yang sederhana. Selain itu, teknologi pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak (jatropha oil) relatif sederhana sehingga akan memudahkan proses introduksi teknologi kepada masyarakat.
Pengusahaan komoditas ini di Desa Pulau Seliu diharapkan dapat menghasilkan manfaat utama: 1) memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan pasokan energi; dan 2) menambah komoditas andalan yang dapat memacu peningkatan skala ekonomi desa.

Letak Geografis dan Administratif Pulau Seliu
Desa Pulau Seliu secara geografis terletak pada titik koordinat 107°32’1,79” Bujur Timur dan 3°13’24,07” Lintang Selatan, dengan luas wilayah daratan 1.645 Ha (16,45 km2). Desa ini merupakan salah satu desa pulau yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Membalong, terpisah dari Pulau Belitung (Pulau Induk) dan dikelilingi oleh perairan laut Jawa.
Secara administratif, Desa Pulau Seliu terbagi kedalam 2 (dua) dusun yaitu dusun I dan dusun II dengan jumlah rukun tetangga sebanyak 8 (delapan) RT.
Kondisi permukaan tanah pada Desa Pulau Seliu relatif datar (elevasi 0 – 6 0) dengan ketinggian muka tanah berkisar antara 0 – 10 m dpl. Kondisi perairan laut Jawa yang mengelilingi Pulau Seliu relatif tenang, karena merupakan laut pedalaman, sehingga aksesibilitas transportasi penumpang dan barang dari/menuju wilayah ini selalu lancar. Selain itu ancaman abrasi pantai oleh hempasan gelombang laut juga bisa dikatakan tidak ada.

Aksesibilitas Pulau Seliu
Pulau Seliu dapat diakses dengan moda transportasi darat (mobil) dari Kota Tanjungpandan menuju Dermaga Dusun Teluk Gembira Desa, Padang Kandis Kecamatan Membalong dengan jarak tempuh ± 65,93 km dan waktu tempuh ± 90 menit. Prasarana jalan yang menghubungkan Kota Tanjungpandan dengan Kecamatan Membalong berupa jalan aspal dan berada dalam kondisi cukup baik. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan moda transportasi laut (perahu motor) dengan jarak tempuh ± 2,408 mil laut. Kondisi perairan yang relatif tenang menyebabkan perjalanan laut menuju pulau ini dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat (± 25 menit).
Oleh sebab itu, frekuensi arus penumpang dan barang dari/menuju Pulau Seliu cukup tinggi ( 6 – 8 kali/hari) dengan kapasitas sekali angkut 10 – 18 orang. Hal ini menunjang distribusi barang konsumsi kebutuhan masyarakat Pulau Seliu yang didatangkan dari Pulau Belitung, dan ekspor komoditas perdagangan andalan yang akan dipasarkan di Kecamatan Membalong atau Kota Tanjungpandan.
Mobilitas masyarakat di Desa Pulau Seliu ditunjang oleh ruas jalan aspal sepanjang 12,0634 km dalam kondisi cukup baik. Hingga saat ini sarana transportasi yang ada di wilayah ini sebanyak 30 unit sepeda motor dan 2 unit mobil.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pulau Seliu
Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Desa Pulau Seliu pada bulan September 2006 berjumlah 1.123 jiwa dengan rincian: penduduk laki-laki 554 jiwa, penduduk perempuan 569 jiwa, dan jumlah kepala keluarga sebanyak 317 KK (TKK WSLIC-2 Kab. Belitung, 2006).
Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah sebagai nelayan, yaitu sebanyak 258 orang (± 80 % KK), dan yang lain berprofesi sebagai pegawai negeri, perangkat desa, pedagang, petani, dan lain-lain. Aktivitas melaut para nelayan menurun selama musim barat (bulan Desember – Pebruari) dan beralih pada usaha pembuatan emping melinjo skala kecil/rumahan yang telah dilakukan secara turun-temurun (data primer Bappeda Kab. Belitung, 2006).

Kondisi Infrastruktur (Prasarana dan Sarana Penunjang)
Kondisi infrastruktur penunjang aktivitas masyarakat Desa Pulau Seliu dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1. Ketersediaan Prasarana dan Sarana Penunjang Desa Pulau Seliu
NO KLASIFIKASI JENIS JUMLAH KETERANGAN
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pendidikan Sekolah Dasar 2 unit
2. Kesehatan a. Pustub. Polindesc. Posyandu 1 unit1 unit1 unit
3. Ekonomi Koperasi 1 unit
4. Transportasi a. Dermagab. Jalanc. Perahu Motord. Sepeda Motore. Mobil 1 unit12,0634 km65 unit30 unit2 unit
5. Listrik PLTD 1 unit (2 mesin) Daya terpsg 80 KWh
6. Air Bersih a. Sumur Galib. Sumur Bor 28 unit14 unit Sdg dibgn WSLIC-2
Sumber : Kab. Belitung dalam Angka Tahun 2005 (diolah)

Tabel diatas menunjukkan bahwa Desa Pulau Seliu memiliki kekurangan infrastruktur dasar sehingga masih sangat tergantung pada pulau induk. Akan tetapi kekurangan tersebut masih dapat tertutupi oleh prasarana dan sarana transportasi yang cukup memadai bagi arus ekspor/impor komoditas dari/menuju desa ini.

Kondisi Ekologi Pulau Seliu
Kondisi Iklim Desa Pulau Seliu dipengaruhi oleh perairan laut disekelilingnya, dimana tingginya penguapan air laut yang menyebabkan pembentukan awan menyebabkan tingginya curah hujan. Iklim tersebut digolongkan dalam iklim tipe A menurut Schmit dan Fergusson (Bappeda Kab. Belitung, 2000).
Berdasarkan hasil analisa prospek pengembangan buah tropis di Pulau Belitung (Bappeda Kab Belitung, 2000), diketahui bahwa jenis tanah di Pulau Seliu adalah pasir berlempung dengan klasifikasi podsolik. Tingkat kesuburan tanah di daerah ini dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.2. Hasil Analisa Tanah Desa Pulau Seliu
Sifat Tanah Nilai * Kriteria
pH H2O 6.10 Netral
pH Kcl 5.00
C-Organik (%) 0.94 Sangat rendah
N-Total ( 0.08 Sangat rendah
C/N 12
P-total (mg/100 g) 8.00 Sangat rendah
Ca (mg/100 g) 0.38 Sangat rendah
Mg (mg/100 g) 0.13 Sangat rendah
K (mg/100 g) 0.05 Sangat rendah
Na (mg/100 g) 0.15 Sangat rendah
KTK 4.39 Sangat rendah
Kejenuhan basa (%) 16.17 Rendah
Al-dd (me/100 g) Tr Sangat rendah
Fe (ppm) 20.96 Tinggi
Cu (ppm) 0.52 Sangat rendah
Zn (ppm) 7.36 Sedang
Mn (ppm) 0.76 Sangat rendah
Tekstur
Pasir (%) 88.92 Pasir berlempung
Debu (%) 2.96 Pasir berlempung
Liat (%) 8.12 Pasir berlempung
Sumber : Bappeda Kab.Belitung, 2000

Tabel diatas menjelaskan bahwa kondisi tanah di Pulau Seliu memiliki kandungan hara terlarut yang rendah, terlihat dari kandungan hara makro dan mikro yang memiliki kriteria sangat rendah. Selain itu kapasitas tukar kation (KTK) juga rendah yang menyebabkan kemampuan tanah dalam menyerap dan menyediakan unsur hara bagi tanaman sangat rendah. Hal ini menyebabkan tanah di Pulau Seliu memiliki keterbatasan yang tinggi untuk pertanian tanaman pangan secara intensif. Salah satu keunggulan tanah daerah ini adalah derajat keasaman (pH) tanah yang netral sehingga tidak diperlukan lagi pengapuran dalam pengelolaan lahan.
Curah hujan yang tinggi menyebabkan kondisi tanah selalu dalam keadaan basah. Berdasarkan citra satelit terrametric tahun 2006 diketahui bahwa sebagian besar daratan Pulau Seliu masih ditutupi oleh vegetasi alami. Hasil analisa tanah Desa Pulau Seliu menunjukkan bahwa kriteria kelas kesesuaian lahan untuk aktivitas pertanian adalah kelas S2.
Menurut Joy (2006), ciri lahan yang digolongkan dalam kelas ini adalah lahan yang mempunyai pembatas yang serius untuk penggunaan secara terus-menerus dimana pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan serta meningkatkan input yang diperlukan. Dengan kondisi lahan seperti itu maka pemanfaatan lahan oleh penduduk belum optimal, dimana penduduk hanya mengusahakan tanaman keras/tahunan (melinjo, mangga, dan sukun) yang tidak membutuhkan perawatan intensif. Penanaman tanaman buah-buahan tersebut dilakukan dengan sistem pekarangan (etagebouw) dengan skala subsisten.

Rencana Pemanfaatan Ruang Pulau Seliu
Berdasarkan analisis citra satelit terrametric tahun 2006, pemanfaatan lahan oleh penduduk di desa Pulau Seliu pada saat ini baru mencapai 176,98 Ha (10,76 %) yang digunakan sebagai areal permukiman, lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Sementara lahan seluas 1.468,02 Ha (89,24 %) masih ditutupi oleh vegetasi alami berupa hutan primer/sekunder di pedalaman dan hutan bakau di daerah pantai (Bappeda Kab. Belitung, 2006).
Untuk menjaga keseimbangan daya dukung lingkungan di Pulau Seliu maka perlu dilakukan sinkronisasi antara luasan kawasan yang masih tersedia untuk diusahakan dan rencana pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Rencana Pemanfaatan Ruang pada matra daratan di Desa Pulau Seliu sebagaimana yang tercantum dalam RTRW Kabupaten Belitung 2005 – 2015 maka alokasi ruang matra daratan yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan secara ekstensif adalah pada alokasi areal pertanian tanaman pangan (4) seluas 147,93 Ha dan areal kebun campuran (5) seluas 684,96 Ha, sehingga luas total keduanya adalah 832,89 Ha.


ANALISA KEBUTUHAN BBM PULAU SELIU
Teknologi motor diesel terus dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas sosial ekonomi masyarakat meskipun kuota penerimaan BBM yang didistribusikan ke Kabupaten Belitung terbatas.
Secara umum, kebutuhan industri terhadap bahan bakar solar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat terutama nelayan. Sementara harga industri dan BBM subsidi untuk masyarakat memiliki perbedaan yang cukup signifikan yakni berkisar antara Rp.900 hingga Rp.2.000 per liter. Kepala Jober Pertamina Tanjungpandan bahkan mempertegas bahwa pasokan BBM dalam bulan Oktober-November 2002 mengalami penurunan hingga mencapai 30%. Kondisi ini tidak pernah terjadi ketika perbedaan harga industri dan subsidi berkisar pada angka Rp.2.000/liter. Perbedaan harga dan isu kelangkaan BBM yang diperparah oleh akses masyarakat nelayan pulau jauh dari pusat pemasaran BBM solar sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan. Dalam konteks ini, isu penyediaan BBM alternatif dalam jangka pendek setidaknya dapat meredam spekulasi harga BBM.

Bahan Bakar yang dibutuhkan masyarakat di Pulau Seliu terutama solar ditujukan untuk pembangkit energi listrik, operasional penangkapan ikan dan perhubungan, sedangkan bahan bakar bensin dibutuhkan untuk kendaraan dan bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil (home industry).

Tabel 4.1. Kebutuhan BBM Masyarakat Pulau Seliu Tahun 2006

Jumlah Satuan Jenis Kebutuhan JumlahPengguna Jenis BBM
10 ** Ltr/trip Nelayan Siklus 1 hari 59 Solar
100** Ltr/trip Nelayan Siklus 2-3 hari 6 Solar
200*** Ltr/bln Pengolahan ikan rebus 10 unit Minyak tanah
200*** Ltr/bln/unit Pembuatan kerupuk 15 unit Minyak tanah
60-100* Ltr/hari Pembangkit Listrik 80 Kwh* Solar
2*** Ltr/hari Kendaraan roda dua 30* Bensin
4*** Ltr/hari Kendaraan roda empat 2* Bensin
Keterangan *) : data primer
**) : data sekunder
***) : asumsi

ANALISA KEBUTUHAN ENERGI (LISTRIK)
Sesuai dengan UU No 20/2002, pemerintah daerah diberikan amanat untuk bertanggung jawab dalam membangun sektor kelistrikan daerah termasuk di pulau terpencil. Pada pasal 5, ayat 1 dan 2 pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) untuk mencari bentuk pembangunan kelistrikan yang paling sesuai dengan kondisi daerah. Hal ini tidak saja mempertimbangkan keberlanjutkan pasokan listrik tetapi juga mencari pola penyediaan yang efektif dan efisien. Untuk memenuhi kebutuhkan listrik masyarakat di Pulau Seliu, PLN membangun pembangkit listrik bertenaga diesel sendiri (isolated). Hal ini membutuhkan investasi yang tidak kecil dan ketergantungan terhadap BBM solar cukup tinggi.
Jika diasumsikan jenis penggunaan adalah rumah tangga kecil (R1) dengan tarif listrik per kwh sebesar 239.90 rupiah dan pemakaian listrik rata-rata 80 % dari kapasitas terpasang 80 kwh atau 64 kwh, maka produksi pembangkit listrik Pulau Seliu per hari (lama beroperasi 12 jam dari pukul 18.00 sore hingga pukul 06.00 pagi) mencapai Rp.184.243,5.
Distribusi listrik PLN tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat secara mandiri mengadakan pembangkit listrik. Kondisi ini berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran rumah tangga. Hasil Susenas menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk konsumsi listrik pada rumah tangga di pedesaan rata-rata mencapai Rp.66.776 atau 2,43% dari total pengeluaran rumah tangga.
Tabel 4.2. Rata-rata Pengeluaran untuk Listrik Pada Rumah Tangga Per Tahun Di Daerah Luar Jawa berdasarkan Susenas 1996, 1999 dan 2002

Tempat Tinggal Rata-rata Pengeluaran untuk Listrik Per Tahun
1996 1999 2002
Luar Jawa- Perkotaan- Pedesaan- Kota & Desa 136.240 68.686106.083 187.276 93.631139.949 343.022166.730245.865
Indonesia- Perkotaan- Pedesaan- Kota & Desa 150.905 66.776110.430 203.199 89.149143.695 392.302157.017280.085
Sumber: Susenas 1996, 1999 dan 2002, BPS

Jika harga tarif listrik naik sekitar 10 persen, maka dampak dari kenaikan harga listrik tersebut akan menyebabkan income riil rumah tangga buruh tani turun sekitar 1,47 persen dan rumah tangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen (Makmun, Abdurahman). Dengan demikian sekiranya kenaikan BBM memicu kenaikan tarif dasar listrik maka income rill rumah tangga di Desa Pulau Seliu yang berprofesi nelayan akan turun sebesar 3,47 persen yang selanjutnya berpengaruh sektor ekonomi lain, faktor produksi maupun lembaga perekonomian yang ada di masyarakat. Artinya kalangan rumah tangga yang paling miskin tidaklah mempunyai kemampuan untuk menikmati listrik.

ANALISA PENGGUNAAN LAHAN
Untuk mengetahui daya tarik masyarakat dalam budidaya tanaman jarak pagar, dilakukan pendekatan Von Thunen dengan asumsi (Daldjoeni,1992, Nugrogo & Dahuri, 2002) sebagai berikut :
a. Terdapat pusat pemasaran (Membalong) yang dikelilingi oleh wilayah produksi pertanian.
b. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak dari areal pertanian ke pusat pemasaran.
c. Setiap rumah tangga mempunyai akses informasi yang sama dengan alat tranportasi dan tingkat mobilitas sama.
Petani cenderung memilih jenis tanaman yang menghasilkan profit maksimal. Berdasarkan data RTRW 2005-2015, peruntukan lahan untuk kebun campuran dan tanaman pangan mencapai 832,89 Ha atau 51% dari luas total wilayah Pulau Seliu terdiri dari berbagai komoditas pertanian. Pemilihan komoditas didasarkan pada komoditas apa saja yang memiliki nilai ekonomis dan menonjol bagi masyarakat Pulau Seliu, yakni komoditas melinjo dan mangga. Dengan adanya komoditas tanaman jarak pagar sebagai budidaya alternatif maka perlu dianalisa penggunaan lahan yang memungkinkan masyarakat tertarik membudidayakan tanaman jarak pagar tersebut.
Gambar diatas merujuk Membalong sebagai pusat pemasaran (pabrik pengolahan berada di Membalong). Dengan demikian jika jarak pusat produksi (lahan budidaya) ke pusat pemasaran diperpendek atau ditempatkan di Pulau Seliu, daya tarik pembudidayaan tanaman jarak oleh masyarakat Pulau Seliu akan lebih meningkat atau memiliki daya tarik yang sama dengan komoditas mangga dan melinjo. Pengertian pusat pemasaran selanjutnya berbentuk pabrik pengolahan yang membeli hasil budidaya tanaman jarak.
Keempat asumsi diatas, menegaskan bahwa commerial geography atau penggunaan lahan mencakup analisa terhadap lingkungan, pemasaran, angkutan dan faktor manusia. Model von Thunen ini mengemukakan bahwa sewa lahan (location rent) bergantung hanya pada faktor jarak (j, dalam satuan km). Jarak akan mempengaruhi besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk transportasi menuju pusat pasar atau pusat pengolahan sehingga menentukan location rent. Komponen lain adalah produksi (P, dalam satuan kg/ha), harga (j, dalam satuan Rp/kg) dan biaya produksi (b, dalam satuan Rp/kg) dan satuan ongkos transpor (t,dalam satuan Rp/km/kg).

Jarak dari pusat pemasaran semakin menurun sebagai konsekuensi dari semakin besar biaya tranportasi dari produk tanaman jarak yang dipasarkan. Berarti biaya transportasi tidak mampu ditutupi oleh penerimaan.

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI BUDIDAYA TANAMAN JARAK
Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat gugus pulau kecil di Kabupaten Belitung, faktor sumberdaya manusia merupakan aspek penting yang perlu diberdayakan. Adapun asumsi produktivitas budidaya menekankan pada peran rumah tangga yang dapat mengusahakan 1 hektar lahan dengan investasi awal sebesar Rp 2.885.000,00 untuk lahan 1 hektar selama 1 tahun.
Berdasarkan data usaha pertanian yang berkembang di Pulau Seliu analisa kelayakan usaha/investasi untuk budidaya tanaman jarak pagar dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.3. Analisa kelayakan budidaya tanaman jarak pagar untuk periode 15 tahun
No Kriteria Ekonomis Keterangan
1. NPV Rp 1×105×020
2. Payback Period Tahun ke 5
3. Benefit Cost Ratio 1,22
Sumber : Bappeda Kab. Belitung, 2006 (diolah)
Rasio antara Biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh sebesar 1,22 artinya investasi budidaya tanaman jarak pagar di Pulau Seliu cukup layak dilakukan petani berskala rumah tangga (3 orang tenaga kerja) dan akan mencapai titik impas pada tahun ke-5, dengan nilai uang bersih pada saat sekarang (NPV) sebesar Rp 1.105.020.

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI PENGOLAHAN BIJI JARAK
Sebagaimana dengan sasaran investasi pada kegiatan budidaya, maka kapasitas produksi pengolahan biji jarak berskala kecil, yakni 10 ton biji jarak per hari layak untuk ditindaklanjuti.
Tabel 4.4. Analisa kelayakan investasi pengolahan biji jarak pagar kapasitas 10 ton
No Kriteria Ekonomis Keterangan
1. NPV Rp 167×325×837
2. Payback Period Tahun ke 4
3. Benefit Cost Ratio 1,477
Sumber : Bappeda Kab. Belitung, 2006 (diolah)
Rasio antara Biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh sebesar 1,477 artinya investasi budidaya di Pulau Seliu cukup layak dilakukan pengusaha skala kecil dan menengah. Hal ini juga menegaskan bahwa Pulau Seliu juga mampu mengundang pihak luar berinvestasi dimana titik impas akan tercapai pada tahun ke – 4 (ke empat). Nilai uang bersih pada saat sekarang (NPV) dari usaha investasi sebesar Rp 167.325.837.

Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi biogeofisik Desa Pulau Seliu memenuhi persyaratan tumbuh bagi tanaman jarak pagar, dan pengusahaan tanaman tersebut tetap berada dalam batas daya dukung lahan yang ada
2. Berdasarkan analisa kesesuaian lahan maka lahan yang dapat diusahakan secara ekstensif oleh masyarakat untuk budidaya tanaman jarak pagar seluas 832,89 Ha atau 51% dari total luas wilayah Pulau Seliu.
3. Investasi budidaya tanaman jarak pagar dapat dilakukan oleh masyarakat dalam skala rumah tangga, dan mencapai titik impas pada tahun ke - 5. Usaha ini dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi nelayan (80 % KK) yang tidak melaut pada musim barat.
4. Investasi pengolahan biji jarak pagar menjadi biodiesel layak ditindaklanjuti di lokasi Pulau Seliu oleh pengusaha skala kecil/menengah, dan mencapai titik impas pada tahun ke - 4.
5. Usaha ini dapat meningkatkan kemandirian ekonomi wilayah Desa Pulau Seliu, dan mengurangi ketergantungan pasokan bahan bakar minyak (solar) yang dibutuhkan sebagian besar masyarakat untuk melaut dan pembangkit tenaga listrik.

Saran Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti sebagai berikut :
1. Optimalisasi pemanfaatan lahan dengan budidaya tanaman jarak pagar sebaiknya dilakukan dengan sistem tumpangsari (3m X 3m) di sela-sela kebun campuran, ataupun pada vegetasi alami hutan sekunder.
2. Upaya introduksi teknologi budidaya dan pengolahan tanaman jarak pagar perlu disertai transfer pengetahuan yang memadai kepada masyarakat Desa Pulau Seliu.
3. Mengingat keterbatasan daerah pulau, maka skala investasi pengolahan biji jarak pagar menjadi biodiesel dilakukan pada skala kecil/menengah.
4. Berdasarkan analisis model von Thunen, disarankan lokasi pengelolaan biji jarak pagar akan efektif dan efisien jika ditempatkan di Pulau Seliu sekaligus mengintroduksi teknologi kepada masyarakat.
5. Pemerintah daerah selanjutnya perlu menyusun Social Accounting Matrix untuk melihat pola pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan energi (household expenditure pattern) dan dampak perubahan pola pengeluaran rumah tangga terhadap sektor perekonomian lainnya.

2 komentar:

  1. lebih ideal (murah) biodiesel dari rumput laut

    BalasHapus
  2. Bet on Roulette with MyBET Casino Bonus Review - bbsjeon
    Learn about 피망바카라 Bet on 골드머니 Roulette with MyBET Casino bonus 게임 사 in our detailed 카라 포커 guide. We'll cover how to claim this bonus! 벳매니아

    BalasHapus