Minggu, 08 Maret 2009

Biodiesel di Pulau Seliu

Latar Belakang
Sektor energi merupakan sektor yang memiliki kontribusi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan suatu negara/wilayah. Seluruh aktivitas perekonomian wilayah tergantung pada pasokan energi yang tersedia, dimana semakin tinggi aktivitas perekonomian maka semakin tinggi pula kebutuhan akan pasokan energi. Menurut Armida S. Alisjahbana (1999), ada tiga hal pokok dalam pembangunan sektor energi di negara-negara berkembang, yaitu: i) meningkatkan efisiensi sektor energi; ii) memperluas akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap penggunaan energi modern; dan iii) keterkaitan energi dan lingkungan
Ketiga hal pokok tersebut telah menjadi tema reformasi institusional sektor energi di banyak negara berkembang sejak tahun 1990an. Selain itu peningkatan efisiensi energi, akses terhadap energi, dan keterkaitan antara energi dan lingkungan juga menjadi agenda komunitas global, yang antara lain dirumuskan dalam Agenda 21 Global tentang Pembangunan Berkelanjutan dan dokumen Millenium Development Goals Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kondisi pembangunan sektor energi di Indonesia masih berjalan lamban, hal ini ditandai dengan tingginya ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang bersifat non renewable (minyak bumi dan batu bara), semakin menipisnya cadangan sumber energi fosil, dan semakin tingginya biaya ekstraksi. Dengan demikian maka sektor perekonomian di Indonesia pada saat ini sangat tergantung pada ketersediaan energi fosil yang cadangannya semakin menipis dengan harga yang akan semakin meningkat di masa depan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan antisipasi terhadap permasalahan energi dengan berupaya mengembangkan sumber energi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Sumber energi alternatif ini diharapkan dapat menyediakan energi pengganti secara berkelanjutan dan mampu menghemat pemakaian cadangan energi fosil.
Pada tahun 2006, Presiden telah mengeluarkan Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang intinya mengajak seluruh lapisan masyarakat, birokrat, dan pengusaha untuk menggiatkan penggunaan energi alternatif. Imbauan ini ditujukan untuk menghemat energi fosil (minyak bumi) yang semakin terbatas, menghemat devisa negara, dan antisipasi terhadap ancaman kemampuan fiskal, serta mengajak komponen bangsa untuk turut memikirkan permasalahan nasional ini.
Salah satu alternatif sumber energi adalah biodiesel yang dihasilkan oleh tanaman jarak pagar. Keunggulan tanaman jarak pagar adalah tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang tinggi, dan dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur dengan syarat memiliki drainase yang baik. Dengan persyaratan tumbuh seperti itu maka tanaman ini dapat dikembangkan pada lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang memiliki daya dukung terbatas seperti pada pulau-pulau kecil di pelosok wilayah Indonesia. Upaya pengembangan komoditas ini pada pulau-pulau kecil akan membantu masyarakat di daerah terisolir untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar yang selama ini tergantung sepenuhnya kepada pasokan dari luar. Selain itu, teknologi pengolahan biodiesel yang sederhana akan memudahkan upaya introduksi teknologi kepada masyarakat.
Pulau Seliu merupakan salah satu pulau kecil dengan status pemerintahan desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Belitung. Desa pulau ini terpisah dari pulau induk dan dikelilingi oleh Laut Jawa. Pasokan barang dan energi/bahan bakar bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat desa didatangkan dari Pulau Belitung, sehingga tingkat ketergantungan terhadap pulau induk cukup tinggi. Kebutuhan energi yang paling utama adalah untuk penerangan listrik (PLTD) dan bahan bakar perahu motor laut. Tanpa pasokan yang mencukupi maka aktivitas perekonomian desa akan lumpuh karena karakteristik wilayah yang terisolasi.
Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi di Pulau Seliu adalah dengan pengembangan tanaman jarak pagar untuk menghasilkan biodiesel. Kondisi pemanfaatan lahan oleh penduduk yang masih rendah (10,76 %) menyediakan luasan lahan yang masih mencukupi untuk pengembangan komoditas tanaman jarak. Selain itu kondisi lahan Pulau Seliu yang kurang subur, dengan klasifikasi pasir berlempung, dan memiliki darainase yang baik memungkinkan tanaman jarak pagar untuk dapat tumbuh dengan optimal.
Biodiesel yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan energi desa, dan dapat dijual sebagai komoditas andalan baru bagi Pulau Seliu.

Isu pokok pemenuhan kebutuhan energi pada saat ini adalah:
· tingginya laju konsumsi energi dunia, terutama energi fosil, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia;
· keterbatasan cadangan, dan tingginya biaya ekstraksi sumber energi non-renewable (energi fosil);
· kondisi geografis wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, yang menyebabkan ketimpangan distribusi bahan bakar yang dibutuhkan masyarakat;
· keterbatasan sumberdaya yang ada di kepulauan kecil menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap pasokan energi dari luar pulau;
· adanya peluang pengembangan energi alternatif dengan teknologi sederhana yang dapat diintroduksi kepada masyarakat, yaitu biodiesel dari tanaman jarak;
· alokasi pola pemanfaatan ruang di pulau kecil harus memperhatikan keterbatasan daya dukung lingkungan kepulauan.

Permasalahan utama pemenuhan kebutuhan energi Desa Pulau Seliu adalah:
· ketergantungan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat Desa Pulau Seliu yang sangat tinggi terhadap pasokan energi fosil atau bahan bakar minyak (solar dan bensin) dari Pulau Belitung (Pulau Induk);
· introduksi budidaya tanaman jarak pagar dan teknologi pengolahan energi alternatif kepada masyarakat harus memperhatikan keterbatasan daya dukung lingkungan di Desa Pulau Seliu

Jenis dan Morfologi Tanaman Jarak Pagar
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar (Richinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica ), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar (biodiesel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas).
Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, yang mana masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar pekarangan. Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan kepada tanaman jarak pagar ini antara lain Sunda (jarak kosta, jarak budeg), Jawa (jarak gundul, jarak pager), Madura (kalekhe paghar), Bali (jarak pager), Nusatenggara (lulu mau, paku kase, jarak pageh), Alor (kuman nema), Sulawesi (jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene), Maluku (ai huwa kamala, balacai, kadoto).
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubikayu. Pohonnya berupa perdu dengan tinggi tanaman 1 – 7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris bila terluka mengeluarkan getah. Daun berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 4 – 15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul diujung batang atau ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2 – 4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing – masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30–40 %.

Aspek Budidaya Tanaman Jarak Pagar
Selama ini budidaya tanaman jarak belum dilakukan masyarakat untuk tujuan agribisnis. Umumnya tanaman ini ditanam sebagai pagar pekarangan sehingga namanya dikenal sebagai jarak pagar. Dalam pengembangan budidaya tanaman jarak pagar pada lahan kritis perlu diperhatikan persyaratan lingkungan tumbuh dan aspek keagronomian (budidaya) sebagai berikut :
Persyaratan Lingkungan Tumbuh
Tanaman jarak sebagai tanaman yang cukup bandel, dalam arti mudah beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya, menghendaki lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhannya, dengan Latitude 50° LU – 40° LS, Altitude 0 – 2000 m dpl, suhu berkisar antara 18° – 30° C. Pada daerah dengan suhu rendah (< 18° C) menghambat pertumbuhan, sedangkan pada suhu tinggi (> 35°C) menyebabkan gugur daun dan bunga, buah kering sehingga produksi menurun. Curah hujan antara 300 mm – 1200 mm per tahun. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5
Persiapan Lahan
Kegiatan persiapan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari semak belukar terutama disekitar calon tempat tanam. Pengajiran dilakukan dengan menancapkan ajir (dari bambu atau batang kayu) dengan jarak tanam disesuaikan dengan rencana populasi tanaman yang diharapkan. Penanaman dengan jarak tanam 2.0 m x 3.0 m (populasi 1600 pohon/ha), 2.0 m x 2.0 m (populasi 2500 pohon/ha) atau 1.5 m x 2.0 m (populasi 3300 pohon/ha). Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1.5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm.
Pembibitan
Bahan tanam dapat berasal dari setek cabang atau batang, maupun benih. Bahkan penyediaan bibit dengan teknik kultur jaringan dimungkinkan. Jika menggunakan setek dipilih cabang atau batang yang telah cukup berkayu. Sedangkan untuk benih dipilih dari biji yang telah cukup tua yaitu diambil dari buah yang telah masak biasanya berwarna hitam. Saat ini di Indonesia belum ada varietas maupun klon unggul jarak pagar, sehingga sumber benih masih mengandalkan pengumpulan dari petani. Peluang untuk penelitian ke arah ini masih sangat luas sehingga menjadi tantangan bagi perguruan tinggi maupun lembaga atau balai penelitian.
Pembibitan dapat dilakukan dalam polibag atau di bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) dan dicampur pupuk kandang lebih baik. Setiap polibag ditanami 1 (satu) benih. Tempat pembibitan diberi naungan/atap dengan bahan dapat berupa daun kelapa, jerami atau paranet. Masa pembibitan berkisar 2 – 3 bulan. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (setiap hari 2 kali pagi dan sore), penyiangan, dan seleksi.
Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal atau selama musim penghujan sehingga kebutuhan air bagi tanaman cukup tersedia. Bibit yang ditanam dipilih yang sehat dan cukup kuat serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih. Saat penanaman, tanah disekitar batang tanaman dipadatkan dan permukaannya dibuat agak cembung.
Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan stek cabang atau batang.
Dalam pembudidayaan tanaman jarak disarankan menerapkan sistem tumpangsari dengan tanaman lain seperti jagung, wijen atau padi ladang sehingga selain mengurangi resiko serangan hama penyakit juga diversifikasi hasil. Jika pola penanaman dengan tumpangsari maka jarak tanam digunakan jarak agak lebar misalnya 2.0 m x 3.0 m
Pengendalian Gulma
Gulma disekitar tanaman dikendalikan baik secara manual/mekanis maupun secara kimia. Pelaksanaan pengendalian gulma dapat bersamaan dengan kegiatan pembumbunan barisan tanaman.
Pemupukan
Pada prinsipnya pemberian pupuk bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah setempat. Belum ada dosis rekomendasi khusus untuk tanaman jarak pagar ini. Jika asumsikan sama dengan jarak kepyar maka dosis pupuk untuk tanaman ini per Ha : 80 kg N, 18 kg P2O5 ,32 kg K2O, 12 kg CaO dan 10 kg MgO. Pupuk N diberikan pada saat tanam dan umur 28 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk P, K, Ca dan Mg diberikan saat tanam Pemberian pupuk organik disarankan untuk memperbaiki struktur tanah.

Pemanfaatan Produk Tanaman Jarak
Robert Manurung menegaskan pemanfaatan pokok (valorization) tanaman jarak (khususnya jarak pagar) sebagai sumber bioenergi perlu disertai dengan pemanfaatan lain yang bernilai ekonomis.
Keberhasilan pengembangan biodiesel jarak pagar ini tak hanya tergantung pada aspek pertaniannya, tapi juga sistem pengolahannya menjadi minyak jarak.
Pembangkit Listrik
Menurut Kepala Subbidang Termal dan Mekanik di B2T, Heru Kuncoro, minyak jarak pagar dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik.
Heru Kuncoro merancang sistem pemrosesan biji jarak menjadi biodiesel yang cukup sederhana, terdiri atas mesin pengupas biji, unit pemanas, mesin tekan (pres mekanik), mesin penyaring (filter), pompa, dan perpipaan, serta dilengkapi unit pembangkit listrik berkapasitas 20-40 kilowatt. Sistem itu mampu memproses 10 ton biji jarak dengan waktu operasi 24 jam sehari.
Dengan melihat prototipe sistem skala laboratorium yang dikembangkan B2T dengan kapasitas satu ton dengan pembangkit diesel 5 kilowatt. Minyak jarak pagar yang dihasilkan memiliki angka cetane 51. Ini lebih tinggi dibanding yang dimiliki solar yang hanya 45. Selain itu, titik pengabutan (pour point minyak jarak berada pada suhu 8 derajat Celsius, sedangkan solar 10 derajat Celsius.

Penyediaan Biodiesel
Investasi untuk membuat sistem pemrosesan biji jarak dengan kapasitas produksi 10 ton biji membutuhkan investasi sebesar Rp 1 miliar diluar dari biaya bangunan seluas 300 meter persegi dan lahan kebun yang luasnya 500-1.250 hektar.Jika umur teknis alat adalah 10 tahun, ongkos pemrosesan minyak jarak tersebut Rp 350-600, belum termasuk harga biji jarak pagar.
Analisis ekonomi ini diambil waktu produksi 312 hari per tahun dan 24 jam per hari, dengan rendemen minyak diasumsikan 30-45 persen. Jadi diperoleh minyak 2.623-3.919 liter/hari atau setara dengan 749-1.123 ton per tahun.
Industri minyak jarak ini juga harus menguntungkan penduduk yang menanamnya. Jika harga biji jarak Rp 500/kg, harga minyak jaraknya berkisar Rp 2.100 (pesimistis) hingga Rp1.400 (optimistis). Bila harga biji jarak Rp 800/kg, harga net minyak jarak Rp 3.000 (pesimistis) hingga Rp 2.000 (optimistis).

Manfaat Ekonomi Lain
Robert Manurung menjelaskan, tanaman jarak baru dimanfaatkan hanya 35% sedangkan 65% sisanya belum dimanfaatkan. Baru biji yang dimanfaatkan untuk biodiesel. Dengan valorization, bungkil sisa olahan dari buah jarak ternyata bisa dibuat pupuk nitrogen phospat calcium (NPL). Sedangkan daun dan kulit tanaman jarak dapat dibuat obat dan bahan kimia spesial. Bahkan, daun dan kulit jarak yang dicampur dengan singkong bisa dijadikan bahan plastik yang bisa hancur. Hal ini mengindikasikan adanya mata rantai produksi yang berkesinambungan antar komoditas pertanian lain.


Kerangka Pemikiran
Keterbatasan daya dukung lahan di Pulau Seliu bagi aktivitas pertanian intensif menyebabkan pola subsistensi masyarakat lebih dominan mengandalkan sumberdaya alam kelautan. Pola subsistensi ini sangat tergantung pada kondisi alam, dimana pada musim barat (desember – pebruari) para nelayan tidak dapat melaut. Pada waktu itu maka penduduk setempat beralih pada usaha home industry emping melinjo.
Keterbatasan infrastruktur ekonomi menyebabkan skala ekonomi Desa Pulau Seliu masih bersifat subsistence, dan sangat tergantung kepada pasokan BBM dan barang dari Pulau Belitung sementara perdagangan komoditas andalan desa (hasil laut, mangga, dan melinjo) belum dapat memacu peningkatan investasi desa. Untuk mendorong peningkatan skala ekonomi maka dibutuhkan suatu usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal akan tetapi sesuai dengan daya dukung lahan yang marginal.
Penanaman jarak pagar (Jatropha curcas) dapat menjadi solusi bagi peningkatan skala ekonomi dengan mengoptimalkan potensi lahan yang terbatas. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan marjinal dengan pola budidaya yang sederhana. Selain itu, teknologi pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak (jatropha oil) relatif sederhana sehingga akan memudahkan proses introduksi teknologi kepada masyarakat.
Pengusahaan komoditas ini di Desa Pulau Seliu diharapkan dapat menghasilkan manfaat utama: 1) memenuhi kebutuhan masyarakat setempat akan pasokan energi; dan 2) menambah komoditas andalan yang dapat memacu peningkatan skala ekonomi desa.

Letak Geografis dan Administratif Pulau Seliu
Desa Pulau Seliu secara geografis terletak pada titik koordinat 107°32’1,79” Bujur Timur dan 3°13’24,07” Lintang Selatan, dengan luas wilayah daratan 1.645 Ha (16,45 km2). Desa ini merupakan salah satu desa pulau yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Membalong, terpisah dari Pulau Belitung (Pulau Induk) dan dikelilingi oleh perairan laut Jawa.
Secara administratif, Desa Pulau Seliu terbagi kedalam 2 (dua) dusun yaitu dusun I dan dusun II dengan jumlah rukun tetangga sebanyak 8 (delapan) RT.
Kondisi permukaan tanah pada Desa Pulau Seliu relatif datar (elevasi 0 – 6 0) dengan ketinggian muka tanah berkisar antara 0 – 10 m dpl. Kondisi perairan laut Jawa yang mengelilingi Pulau Seliu relatif tenang, karena merupakan laut pedalaman, sehingga aksesibilitas transportasi penumpang dan barang dari/menuju wilayah ini selalu lancar. Selain itu ancaman abrasi pantai oleh hempasan gelombang laut juga bisa dikatakan tidak ada.

Aksesibilitas Pulau Seliu
Pulau Seliu dapat diakses dengan moda transportasi darat (mobil) dari Kota Tanjungpandan menuju Dermaga Dusun Teluk Gembira Desa, Padang Kandis Kecamatan Membalong dengan jarak tempuh ± 65,93 km dan waktu tempuh ± 90 menit. Prasarana jalan yang menghubungkan Kota Tanjungpandan dengan Kecamatan Membalong berupa jalan aspal dan berada dalam kondisi cukup baik. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan moda transportasi laut (perahu motor) dengan jarak tempuh ± 2,408 mil laut. Kondisi perairan yang relatif tenang menyebabkan perjalanan laut menuju pulau ini dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat (± 25 menit).
Oleh sebab itu, frekuensi arus penumpang dan barang dari/menuju Pulau Seliu cukup tinggi ( 6 – 8 kali/hari) dengan kapasitas sekali angkut 10 – 18 orang. Hal ini menunjang distribusi barang konsumsi kebutuhan masyarakat Pulau Seliu yang didatangkan dari Pulau Belitung, dan ekspor komoditas perdagangan andalan yang akan dipasarkan di Kecamatan Membalong atau Kota Tanjungpandan.
Mobilitas masyarakat di Desa Pulau Seliu ditunjang oleh ruas jalan aspal sepanjang 12,0634 km dalam kondisi cukup baik. Hingga saat ini sarana transportasi yang ada di wilayah ini sebanyak 30 unit sepeda motor dan 2 unit mobil.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pulau Seliu
Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Desa Pulau Seliu pada bulan September 2006 berjumlah 1.123 jiwa dengan rincian: penduduk laki-laki 554 jiwa, penduduk perempuan 569 jiwa, dan jumlah kepala keluarga sebanyak 317 KK (TKK WSLIC-2 Kab. Belitung, 2006).
Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah sebagai nelayan, yaitu sebanyak 258 orang (± 80 % KK), dan yang lain berprofesi sebagai pegawai negeri, perangkat desa, pedagang, petani, dan lain-lain. Aktivitas melaut para nelayan menurun selama musim barat (bulan Desember – Pebruari) dan beralih pada usaha pembuatan emping melinjo skala kecil/rumahan yang telah dilakukan secara turun-temurun (data primer Bappeda Kab. Belitung, 2006).

Kondisi Infrastruktur (Prasarana dan Sarana Penunjang)
Kondisi infrastruktur penunjang aktivitas masyarakat Desa Pulau Seliu dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1. Ketersediaan Prasarana dan Sarana Penunjang Desa Pulau Seliu
NO KLASIFIKASI JENIS JUMLAH KETERANGAN
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pendidikan Sekolah Dasar 2 unit
2. Kesehatan a. Pustub. Polindesc. Posyandu 1 unit1 unit1 unit
3. Ekonomi Koperasi 1 unit
4. Transportasi a. Dermagab. Jalanc. Perahu Motord. Sepeda Motore. Mobil 1 unit12,0634 km65 unit30 unit2 unit
5. Listrik PLTD 1 unit (2 mesin) Daya terpsg 80 KWh
6. Air Bersih a. Sumur Galib. Sumur Bor 28 unit14 unit Sdg dibgn WSLIC-2
Sumber : Kab. Belitung dalam Angka Tahun 2005 (diolah)

Tabel diatas menunjukkan bahwa Desa Pulau Seliu memiliki kekurangan infrastruktur dasar sehingga masih sangat tergantung pada pulau induk. Akan tetapi kekurangan tersebut masih dapat tertutupi oleh prasarana dan sarana transportasi yang cukup memadai bagi arus ekspor/impor komoditas dari/menuju desa ini.

Kondisi Ekologi Pulau Seliu
Kondisi Iklim Desa Pulau Seliu dipengaruhi oleh perairan laut disekelilingnya, dimana tingginya penguapan air laut yang menyebabkan pembentukan awan menyebabkan tingginya curah hujan. Iklim tersebut digolongkan dalam iklim tipe A menurut Schmit dan Fergusson (Bappeda Kab. Belitung, 2000).
Berdasarkan hasil analisa prospek pengembangan buah tropis di Pulau Belitung (Bappeda Kab Belitung, 2000), diketahui bahwa jenis tanah di Pulau Seliu adalah pasir berlempung dengan klasifikasi podsolik. Tingkat kesuburan tanah di daerah ini dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.2. Hasil Analisa Tanah Desa Pulau Seliu
Sifat Tanah Nilai * Kriteria
pH H2O 6.10 Netral
pH Kcl 5.00
C-Organik (%) 0.94 Sangat rendah
N-Total ( 0.08 Sangat rendah
C/N 12
P-total (mg/100 g) 8.00 Sangat rendah
Ca (mg/100 g) 0.38 Sangat rendah
Mg (mg/100 g) 0.13 Sangat rendah
K (mg/100 g) 0.05 Sangat rendah
Na (mg/100 g) 0.15 Sangat rendah
KTK 4.39 Sangat rendah
Kejenuhan basa (%) 16.17 Rendah
Al-dd (me/100 g) Tr Sangat rendah
Fe (ppm) 20.96 Tinggi
Cu (ppm) 0.52 Sangat rendah
Zn (ppm) 7.36 Sedang
Mn (ppm) 0.76 Sangat rendah
Tekstur
Pasir (%) 88.92 Pasir berlempung
Debu (%) 2.96 Pasir berlempung
Liat (%) 8.12 Pasir berlempung
Sumber : Bappeda Kab.Belitung, 2000

Tabel diatas menjelaskan bahwa kondisi tanah di Pulau Seliu memiliki kandungan hara terlarut yang rendah, terlihat dari kandungan hara makro dan mikro yang memiliki kriteria sangat rendah. Selain itu kapasitas tukar kation (KTK) juga rendah yang menyebabkan kemampuan tanah dalam menyerap dan menyediakan unsur hara bagi tanaman sangat rendah. Hal ini menyebabkan tanah di Pulau Seliu memiliki keterbatasan yang tinggi untuk pertanian tanaman pangan secara intensif. Salah satu keunggulan tanah daerah ini adalah derajat keasaman (pH) tanah yang netral sehingga tidak diperlukan lagi pengapuran dalam pengelolaan lahan.
Curah hujan yang tinggi menyebabkan kondisi tanah selalu dalam keadaan basah. Berdasarkan citra satelit terrametric tahun 2006 diketahui bahwa sebagian besar daratan Pulau Seliu masih ditutupi oleh vegetasi alami. Hasil analisa tanah Desa Pulau Seliu menunjukkan bahwa kriteria kelas kesesuaian lahan untuk aktivitas pertanian adalah kelas S2.
Menurut Joy (2006), ciri lahan yang digolongkan dalam kelas ini adalah lahan yang mempunyai pembatas yang serius untuk penggunaan secara terus-menerus dimana pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan serta meningkatkan input yang diperlukan. Dengan kondisi lahan seperti itu maka pemanfaatan lahan oleh penduduk belum optimal, dimana penduduk hanya mengusahakan tanaman keras/tahunan (melinjo, mangga, dan sukun) yang tidak membutuhkan perawatan intensif. Penanaman tanaman buah-buahan tersebut dilakukan dengan sistem pekarangan (etagebouw) dengan skala subsisten.

Rencana Pemanfaatan Ruang Pulau Seliu
Berdasarkan analisis citra satelit terrametric tahun 2006, pemanfaatan lahan oleh penduduk di desa Pulau Seliu pada saat ini baru mencapai 176,98 Ha (10,76 %) yang digunakan sebagai areal permukiman, lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Sementara lahan seluas 1.468,02 Ha (89,24 %) masih ditutupi oleh vegetasi alami berupa hutan primer/sekunder di pedalaman dan hutan bakau di daerah pantai (Bappeda Kab. Belitung, 2006).
Untuk menjaga keseimbangan daya dukung lingkungan di Pulau Seliu maka perlu dilakukan sinkronisasi antara luasan kawasan yang masih tersedia untuk diusahakan dan rencana pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Rencana Pemanfaatan Ruang pada matra daratan di Desa Pulau Seliu sebagaimana yang tercantum dalam RTRW Kabupaten Belitung 2005 – 2015 maka alokasi ruang matra daratan yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan secara ekstensif adalah pada alokasi areal pertanian tanaman pangan (4) seluas 147,93 Ha dan areal kebun campuran (5) seluas 684,96 Ha, sehingga luas total keduanya adalah 832,89 Ha.


ANALISA KEBUTUHAN BBM PULAU SELIU
Teknologi motor diesel terus dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas sosial ekonomi masyarakat meskipun kuota penerimaan BBM yang didistribusikan ke Kabupaten Belitung terbatas.
Secara umum, kebutuhan industri terhadap bahan bakar solar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat terutama nelayan. Sementara harga industri dan BBM subsidi untuk masyarakat memiliki perbedaan yang cukup signifikan yakni berkisar antara Rp.900 hingga Rp.2.000 per liter. Kepala Jober Pertamina Tanjungpandan bahkan mempertegas bahwa pasokan BBM dalam bulan Oktober-November 2002 mengalami penurunan hingga mencapai 30%. Kondisi ini tidak pernah terjadi ketika perbedaan harga industri dan subsidi berkisar pada angka Rp.2.000/liter. Perbedaan harga dan isu kelangkaan BBM yang diperparah oleh akses masyarakat nelayan pulau jauh dari pusat pemasaran BBM solar sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan. Dalam konteks ini, isu penyediaan BBM alternatif dalam jangka pendek setidaknya dapat meredam spekulasi harga BBM.

Bahan Bakar yang dibutuhkan masyarakat di Pulau Seliu terutama solar ditujukan untuk pembangkit energi listrik, operasional penangkapan ikan dan perhubungan, sedangkan bahan bakar bensin dibutuhkan untuk kendaraan dan bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil (home industry).

Tabel 4.1. Kebutuhan BBM Masyarakat Pulau Seliu Tahun 2006

Jumlah Satuan Jenis Kebutuhan JumlahPengguna Jenis BBM
10 ** Ltr/trip Nelayan Siklus 1 hari 59 Solar
100** Ltr/trip Nelayan Siklus 2-3 hari 6 Solar
200*** Ltr/bln Pengolahan ikan rebus 10 unit Minyak tanah
200*** Ltr/bln/unit Pembuatan kerupuk 15 unit Minyak tanah
60-100* Ltr/hari Pembangkit Listrik 80 Kwh* Solar
2*** Ltr/hari Kendaraan roda dua 30* Bensin
4*** Ltr/hari Kendaraan roda empat 2* Bensin
Keterangan *) : data primer
**) : data sekunder
***) : asumsi

ANALISA KEBUTUHAN ENERGI (LISTRIK)
Sesuai dengan UU No 20/2002, pemerintah daerah diberikan amanat untuk bertanggung jawab dalam membangun sektor kelistrikan daerah termasuk di pulau terpencil. Pada pasal 5, ayat 1 dan 2 pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) untuk mencari bentuk pembangunan kelistrikan yang paling sesuai dengan kondisi daerah. Hal ini tidak saja mempertimbangkan keberlanjutkan pasokan listrik tetapi juga mencari pola penyediaan yang efektif dan efisien. Untuk memenuhi kebutuhkan listrik masyarakat di Pulau Seliu, PLN membangun pembangkit listrik bertenaga diesel sendiri (isolated). Hal ini membutuhkan investasi yang tidak kecil dan ketergantungan terhadap BBM solar cukup tinggi.
Jika diasumsikan jenis penggunaan adalah rumah tangga kecil (R1) dengan tarif listrik per kwh sebesar 239.90 rupiah dan pemakaian listrik rata-rata 80 % dari kapasitas terpasang 80 kwh atau 64 kwh, maka produksi pembangkit listrik Pulau Seliu per hari (lama beroperasi 12 jam dari pukul 18.00 sore hingga pukul 06.00 pagi) mencapai Rp.184.243,5.
Distribusi listrik PLN tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat secara mandiri mengadakan pembangkit listrik. Kondisi ini berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran rumah tangga. Hasil Susenas menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk konsumsi listrik pada rumah tangga di pedesaan rata-rata mencapai Rp.66.776 atau 2,43% dari total pengeluaran rumah tangga.
Tabel 4.2. Rata-rata Pengeluaran untuk Listrik Pada Rumah Tangga Per Tahun Di Daerah Luar Jawa berdasarkan Susenas 1996, 1999 dan 2002

Tempat Tinggal Rata-rata Pengeluaran untuk Listrik Per Tahun
1996 1999 2002
Luar Jawa- Perkotaan- Pedesaan- Kota & Desa 136.240 68.686106.083 187.276 93.631139.949 343.022166.730245.865
Indonesia- Perkotaan- Pedesaan- Kota & Desa 150.905 66.776110.430 203.199 89.149143.695 392.302157.017280.085
Sumber: Susenas 1996, 1999 dan 2002, BPS

Jika harga tarif listrik naik sekitar 10 persen, maka dampak dari kenaikan harga listrik tersebut akan menyebabkan income riil rumah tangga buruh tani turun sekitar 1,47 persen dan rumah tangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen (Makmun, Abdurahman). Dengan demikian sekiranya kenaikan BBM memicu kenaikan tarif dasar listrik maka income rill rumah tangga di Desa Pulau Seliu yang berprofesi nelayan akan turun sebesar 3,47 persen yang selanjutnya berpengaruh sektor ekonomi lain, faktor produksi maupun lembaga perekonomian yang ada di masyarakat. Artinya kalangan rumah tangga yang paling miskin tidaklah mempunyai kemampuan untuk menikmati listrik.

ANALISA PENGGUNAAN LAHAN
Untuk mengetahui daya tarik masyarakat dalam budidaya tanaman jarak pagar, dilakukan pendekatan Von Thunen dengan asumsi (Daldjoeni,1992, Nugrogo & Dahuri, 2002) sebagai berikut :
a. Terdapat pusat pemasaran (Membalong) yang dikelilingi oleh wilayah produksi pertanian.
b. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak dari areal pertanian ke pusat pemasaran.
c. Setiap rumah tangga mempunyai akses informasi yang sama dengan alat tranportasi dan tingkat mobilitas sama.
Petani cenderung memilih jenis tanaman yang menghasilkan profit maksimal. Berdasarkan data RTRW 2005-2015, peruntukan lahan untuk kebun campuran dan tanaman pangan mencapai 832,89 Ha atau 51% dari luas total wilayah Pulau Seliu terdiri dari berbagai komoditas pertanian. Pemilihan komoditas didasarkan pada komoditas apa saja yang memiliki nilai ekonomis dan menonjol bagi masyarakat Pulau Seliu, yakni komoditas melinjo dan mangga. Dengan adanya komoditas tanaman jarak pagar sebagai budidaya alternatif maka perlu dianalisa penggunaan lahan yang memungkinkan masyarakat tertarik membudidayakan tanaman jarak pagar tersebut.
Gambar diatas merujuk Membalong sebagai pusat pemasaran (pabrik pengolahan berada di Membalong). Dengan demikian jika jarak pusat produksi (lahan budidaya) ke pusat pemasaran diperpendek atau ditempatkan di Pulau Seliu, daya tarik pembudidayaan tanaman jarak oleh masyarakat Pulau Seliu akan lebih meningkat atau memiliki daya tarik yang sama dengan komoditas mangga dan melinjo. Pengertian pusat pemasaran selanjutnya berbentuk pabrik pengolahan yang membeli hasil budidaya tanaman jarak.
Keempat asumsi diatas, menegaskan bahwa commerial geography atau penggunaan lahan mencakup analisa terhadap lingkungan, pemasaran, angkutan dan faktor manusia. Model von Thunen ini mengemukakan bahwa sewa lahan (location rent) bergantung hanya pada faktor jarak (j, dalam satuan km). Jarak akan mempengaruhi besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk transportasi menuju pusat pasar atau pusat pengolahan sehingga menentukan location rent. Komponen lain adalah produksi (P, dalam satuan kg/ha), harga (j, dalam satuan Rp/kg) dan biaya produksi (b, dalam satuan Rp/kg) dan satuan ongkos transpor (t,dalam satuan Rp/km/kg).

Jarak dari pusat pemasaran semakin menurun sebagai konsekuensi dari semakin besar biaya tranportasi dari produk tanaman jarak yang dipasarkan. Berarti biaya transportasi tidak mampu ditutupi oleh penerimaan.

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI BUDIDAYA TANAMAN JARAK
Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat gugus pulau kecil di Kabupaten Belitung, faktor sumberdaya manusia merupakan aspek penting yang perlu diberdayakan. Adapun asumsi produktivitas budidaya menekankan pada peran rumah tangga yang dapat mengusahakan 1 hektar lahan dengan investasi awal sebesar Rp 2.885.000,00 untuk lahan 1 hektar selama 1 tahun.
Berdasarkan data usaha pertanian yang berkembang di Pulau Seliu analisa kelayakan usaha/investasi untuk budidaya tanaman jarak pagar dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.3. Analisa kelayakan budidaya tanaman jarak pagar untuk periode 15 tahun
No Kriteria Ekonomis Keterangan
1. NPV Rp 1×105×020
2. Payback Period Tahun ke 5
3. Benefit Cost Ratio 1,22
Sumber : Bappeda Kab. Belitung, 2006 (diolah)
Rasio antara Biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh sebesar 1,22 artinya investasi budidaya tanaman jarak pagar di Pulau Seliu cukup layak dilakukan petani berskala rumah tangga (3 orang tenaga kerja) dan akan mencapai titik impas pada tahun ke-5, dengan nilai uang bersih pada saat sekarang (NPV) sebesar Rp 1.105.020.

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI PENGOLAHAN BIJI JARAK
Sebagaimana dengan sasaran investasi pada kegiatan budidaya, maka kapasitas produksi pengolahan biji jarak berskala kecil, yakni 10 ton biji jarak per hari layak untuk ditindaklanjuti.
Tabel 4.4. Analisa kelayakan investasi pengolahan biji jarak pagar kapasitas 10 ton
No Kriteria Ekonomis Keterangan
1. NPV Rp 167×325×837
2. Payback Period Tahun ke 4
3. Benefit Cost Ratio 1,477
Sumber : Bappeda Kab. Belitung, 2006 (diolah)
Rasio antara Biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh sebesar 1,477 artinya investasi budidaya di Pulau Seliu cukup layak dilakukan pengusaha skala kecil dan menengah. Hal ini juga menegaskan bahwa Pulau Seliu juga mampu mengundang pihak luar berinvestasi dimana titik impas akan tercapai pada tahun ke – 4 (ke empat). Nilai uang bersih pada saat sekarang (NPV) dari usaha investasi sebesar Rp 167.325.837.

Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi biogeofisik Desa Pulau Seliu memenuhi persyaratan tumbuh bagi tanaman jarak pagar, dan pengusahaan tanaman tersebut tetap berada dalam batas daya dukung lahan yang ada
2. Berdasarkan analisa kesesuaian lahan maka lahan yang dapat diusahakan secara ekstensif oleh masyarakat untuk budidaya tanaman jarak pagar seluas 832,89 Ha atau 51% dari total luas wilayah Pulau Seliu.
3. Investasi budidaya tanaman jarak pagar dapat dilakukan oleh masyarakat dalam skala rumah tangga, dan mencapai titik impas pada tahun ke - 5. Usaha ini dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi nelayan (80 % KK) yang tidak melaut pada musim barat.
4. Investasi pengolahan biji jarak pagar menjadi biodiesel layak ditindaklanjuti di lokasi Pulau Seliu oleh pengusaha skala kecil/menengah, dan mencapai titik impas pada tahun ke - 4.
5. Usaha ini dapat meningkatkan kemandirian ekonomi wilayah Desa Pulau Seliu, dan mengurangi ketergantungan pasokan bahan bakar minyak (solar) yang dibutuhkan sebagian besar masyarakat untuk melaut dan pembangkit tenaga listrik.

Saran Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti sebagai berikut :
1. Optimalisasi pemanfaatan lahan dengan budidaya tanaman jarak pagar sebaiknya dilakukan dengan sistem tumpangsari (3m X 3m) di sela-sela kebun campuran, ataupun pada vegetasi alami hutan sekunder.
2. Upaya introduksi teknologi budidaya dan pengolahan tanaman jarak pagar perlu disertai transfer pengetahuan yang memadai kepada masyarakat Desa Pulau Seliu.
3. Mengingat keterbatasan daerah pulau, maka skala investasi pengolahan biji jarak pagar menjadi biodiesel dilakukan pada skala kecil/menengah.
4. Berdasarkan analisis model von Thunen, disarankan lokasi pengelolaan biji jarak pagar akan efektif dan efisien jika ditempatkan di Pulau Seliu sekaligus mengintroduksi teknologi kepada masyarakat.
5. Pemerintah daerah selanjutnya perlu menyusun Social Accounting Matrix untuk melihat pola pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan energi (household expenditure pattern) dan dampak perubahan pola pengeluaran rumah tangga terhadap sektor perekonomian lainnya.

Benda Bersejarah Kapal Keruk Cerucuk

Budak negro yang dijatah hak hidupnya oleh orang Eropa hanya bisa tersedu, diiringi alat musik mereka bernyanyi, suara kesedihan berubah menjadi ratapan bersenandung. Bagi tanah New Orleans orang Eropa maupun Afrika adalah sama-sama pendatang pembuat onar. Bedanya bangsa Eropa mendominasi sementara bangsa Afrika diperbudak.

Kini ratapan bersenandung atau ”irama miring” itu dikenal dengan irama Jazz yang dalam lingkungan kampus dianggap sebagai irama intelek. Maka jadilah kota New Orleans sebagai kota Jazz yang mendunia dan menghilangkan nuansa perbudakan, kecuali artefak-artefak yang berkaitan dengan musik Jazz. Dari coffe shop, halaman parkir hingga persimpangan jalan bisa dijumpai irama Jazz. Gedung-gedung modernnya bersimbiosis dengan pemusik jalanan tanpa mengurangi kesan kumuh apalagi perbudakan.

Yang ingin digambarkan disini adalah bagaimana sebuah budaya bisa ditransformasikan dan saling mendukung. Yang menarik dari Transformasi budaya tersebut pertama, secara teknis irama budak berubah jadi irama intelek. Kedua, bangsa yang berbeda dominansi sosial, ekonomi maupun politiknya bisa menyatu justru dengan budaya bentukan (artifisal). Ketiga, sangat sulit memahami fanatisme global sebuah budaya (musik Jazz) tanpa adanya kemampuan mengeksploitasi nilai (intangible) dari sebuah objek fisik (tangible).

Oleh karena itu untuk mengeksploitasi objek fisik termasuk Kapal Keruk Cerucuk dibutuhkan pemikiran komprehensif bagaimana nilai-nilai yang terkandung bisa dieksploitasi sedemikian rupa sehingga tidak terjebak pada konsepsi harga sekumpulan besi tua.

Secara normatif persoalan budaya menjadi tanggung jawab stakeholder. Artinya persoalan budaya mengundang kepedulian pemerintah (eksekuif-legislatif-yudikatif), kalangan pengusaha dan masyarakat. Sayangnya pengertian stakeholder ini sering dimaknai terpisah, sehingga tanggung jawab pengembangannya pun tertuju pada satu domain saja. Fungsi budaya didudukkan pada status penting dalam organisasi kepemerintahan, yakni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Namun seiring dengan perubahan organisasi di pemerintah daerah, kini kebudayaan hanya menjadi sub organisasi Dinas Perhubungan Dan Pariwisata. Penggalian nilai-nilai tradisional ataupun nilai budaya lainnya tidak lagi menjadi dasar yang terkait dengan perkembangan dunia pendidikan tetapi lebih diarahkan untuk mendukung nilai tambah dari industri pariwisata yang diukur berdasarkan jumlah kunjungan wisata.

Pertanyaan adalah bagaimana optimalisasi penggalian nilai baik nilai sejarah maupun nilai peradaan manusia atau budaya dari objek fisik bisa dilakukan sehingga tidak saja berdampak terhadap pembangunan ekonomi tetapi juga memberikan manfaat mendasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan etika bermasyarakat. Sementara efek globalisasi telah mengaburkan identitas masyarakat serta mempercepat perubahan fungsi dan nilai-nilai yang ada di masyarakat melalui jaringan kapital yang turut mengglobal.

PEMASALAHAN

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, penegasan Bung Karno ini menyadarkan kita untuk restrospeksi arah pengembangan masyarakat di kemudian hari sekalipun sejarah akan membuka kesalahan kita dimasa lalu. Kesalahan justru bernilai positif dengan memberdayakan nilai yang ada sesuai dengan kebutuhan masa kini.

Persoalannya sebuah nilai seringkali diterjemahkan dengan harga dan biaya, lebih buruk lagi orientasi biaya dan harga ini dilakukan untuk mendapat hasil yang cepat sehingga mengabaikan proses (produktivitas).

Konsepsi berpikir instant ini, mengabaikan nilai-nilai sosial ataupun sumberdaya yang tidak terlihat (intangible resource). Sebagai sebuah objek fisik, Kapal Keruk Cerucuk, bangunan arsitektur atau benda-benda bersejarah lainnya lebih dipandang sebagai kumpulan besi-besi dan bangunan tua yang lebih layak untuk dirobohkan atau dijual.

Belitung identik dengan timah karena dalam rentang waktu yang cukup lama perkembangan sosial ekonomi dipengaruhi oleh sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui tersebut. Sejarah peradaban masyarakat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Pulau Belitung tidak bisa lepas dari sejarah penambangan timah. Kuli-kuli tambang Cina yang dipekerjakan oleh orang-orang Eropa yang berinvestasi di pulau ini tidak sekedar menjadi bahan penelitian hubungan antara buruh-majikan.

Hukum ekonomi yang melihat adanya penambahan input tetapi menghasilkan output yang cenderung menurun (law of deminishing return) juga tak kalah menarik sebagai bahan retrospeksi membangun masyarakat hingga turut merubah struktur ruang wilayah, vegetasi, keberagaman hayati serta landscape. Bentang alam (landscape heritage) yang dititipkan Tuhan untuk generasi-generasi yang akan datang dirusak oleh pemikiran instant dari manusia-manusia nomaden kaya modal.

Restrukturisasi PT.Timah tahun 1991 dengan pengurangan karyawan yang cukup siginifikan menandai gejala deklinasi nilai-nilai sosial-ekonomi masyarakat Belitung. Ide pemikian untuk melakukan transformasi sosial ekonomi pun semakin kuat. Pemerintah Kabupaten Belitung kemudian menetapkan program pembangunan alternatif yang lebih dikenal dengan Panca Usaha Pokok. Kelima program tersebut meliputi program pembangunan di bidang pertanian, bidang perikanan dan kelautan, bidang peternakan, bidang pariwisata dan bidang industri pengolahan untuk mengatasi deklinasi perekonomian pasca tambang.

Pariwisata adalah salah satu program Panca Usaha Pokok yang semakin gencar didengungkan seiring kebijakan pemerintah pusat menetapkan Visit Indonesian Year tahun 1991 dan Kabupaten Belitung gencar mempromosikan asset wisata alamnya yakni pantai. Sayangnya pusaka alam (natural heritage) dan pusaka budaya (cultural heritage) tidak didasari pada uapaya untuk membangun bidang pariwisata sebagai sebauh industrial linkage.

Sebenarnya semua hasil budaya yang bersifat fisik merupakan manifestasi dari budaya non fisik (Atmodjo, 2004). Nilai-nilai yang terkandung dalam budya fisik seperti benda bersejarah kapal keruk menjadi bahan untuk merestrospeksi pembangunan sosial-ekonomi. Ketika masih berproduksi, keberadaan kapal keruk memicu pembangunan infrastruktur wilayah. Sebaliknya ketika sudah menjadi benda bersejarah, intrepretasi nilai yang dikandungnya menjadi sumberdaya (intagible resource) yang mendukung fungsi sosial (pendidikan) dan ekonomi (pariwisata) di Kabupaten Belitung.

Donovan D Rypkema ( staf pengajar Pensylvania University, USA dan bekerja untuk organisasi Heritage Strategy International), menguraikan manfaat konservasi ditinjau dari aspek ekonomi 1), diantaranya:

  1. Heritage Conservation creates jobs and creates more jobs than the same amount of new construction

1) Disampaikan pada World Urban Forum di Barcelona pada bulan September 2004 dan di Palembang dalam International Workshop : Capacity Buidling For Heritage Conservation in Sumatera pada bulan Juli 2005

Kegiatan konservasi kapal keruk cerucuk menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan lebih banyak pekerjaan dibandingkan dengan membuat atau mengoperasionalkan kembali kapal keruk untuk penambangan. Dimana banyak bidang pekerjaan konstruksi seperti pengecatan, pengelasan, perbengkelan dan sebagainya dapat ditampung dalam kegiatan konservasi.

  1. Heritage Conservation not only has a greater impact on local labor demand but on local suppliers as well

Kegiatan konservasi kapal keruk cerucuk tidak hanya berdampak terhadap tenaga kerja lokal tetapi memberikan peluang usaha bagi supplier yang memasok alat dan bahan yang digunakan dalam konservasi tersebut seperti sector perbengkelan.

  1. Heritage Conservation is an effective smaller city economic development strategy

Kegiatan konservasi Kapal Keruk Cerucuk merupakan strategi pembangunan ekonomi skala kota kecil seperti Tanjungpandan apalagi jika dikaitkan keberadaan pantai Tanjungpendam sebagai kawasan wisata dan ruang publik.

  1. Historic rehabilitation activity is often a counter-cyclical activity that stabilizes the local economy

Kegiatan peremajaan sejarah seringkali memberikan keseimbangan terhadap ekonomi lokal.

  1. When encouraged through a comprehensive strategy, Heritage Conservation activity can have the same impact on the community as larger projects

Dengan strategi yang komprehensif, konservasi Kapal Keruk Cerucuk berdampak terhadap upaya mengajak masyarakat untuk mencari alternative sumber perekonomian pasca tambang, ancaman kerusakan lingkungan atau melibatkan masyarakat dalam proses transformasi ekonomi dan teknologi di Kabupaten Belitung.

  1. Heritage Conservation can be part of a strategy to attract industrial and manufacturing firms and retaining small business

Kegiatan konservasi Kapal Keruk Cerucuk merupakan bagian dari upaya untuk mengatraksi perusahaan industri dan pabrikasi terutama untuk menggantikan komponen kapal keruk yang sudah usang, sebaliknya perusahaan lokal dapat mempelajari teknologi permesinan yang masih bisa diterapkan hingga saat ini.

  1. Historic buildings provide efficient space for new uses

Kapal Keruk Cerucuk dapat dijadikan bangunan (museum) terapung, restoran ataupun sebagai tempat pertemuan yang unik. Selama ini kawasan wisata Tanjungpendam lebih berorientasi ke arah darat, jika kapal Keruk Cerucuk ini dipindahkan ke wilayah pantai, penambahan objek wisata ini akan menghubungkan atau memperluas ruang kawasan wisata Tanjungpendam melalui sebuah koridor berupa jembatan penghubung yang dapat berfungsi sebagai tambatan perahu wisata dan restoran terapung.

  1. Visitors to historic sites not only bring dollars but other opportunities as well

Pengunjung yang datang ke Kapal Keruk Cerucuk akan memberikan multiplier effect bagi industri pariwisata dan ekonomi masyarakat lokal, karena pengunjung akan menggunakan berbagai barang dan jasa yang ada di Kabupaten Belitung dalam perjalanan menuju lokasi objek sejarah. Nilai sejarah dan budaya dan jejak peradaban sebuah bangsa (Melayu, Cina dan Belanda) yang memberikan andil terhadap perkembangan pulau Belitung akn menjadi sumber perekonomian alternatif. Nilai-nilai tersebut dibawa pengunjung yang jika nilai-nilai tersebut ditransformasikan akan sama atau bahkan lebih besar dari biaya yang kita keluarkan.

  1. Spaces in historic structures are appropriate for many of the industries in the economy's growth sectors

Nilai sejarah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di sektor lainnya. Nilai sejarah mendorong (forward lingkage) kegiatan ekonomi sektor hilir dan menarik (backward lingkage) kegiatan ekonomi sektor hulu. Adanya konservasi Kapal Keruk Cerucuk mendorong perkembangan sektor perbengkelan dan sektor perdagangan sekaligus mendorong sektor hilirnya, yakni pariwisata seperti meningkatnya pengujung hotel dan restauran. Jika satu kegiatan perekonomian memiliki daya tarik dan daya dorong yang kuat ke sektor lainnya, maka sektor tersebut akan menjadi sektor unggulan .

KAPAL KERUK CERUCUK

Kapal keruk (emmerbagger atau disingkat EB) adalah instalasi yang mengapung yang digerakkan oleh tenaga uap maupun tenaga listrik diesel.

Mangkok penggali dirangkai menjadi sebuah rantai yang tidak putus-putus diatas rol yang terletak diatas tangga baja, 108 mangkok yang beratnya kurang lebih 1 ton tersebut berputar diatas geladak ponton yang mengapung. Rantai mangkok penggali ini diarahkan ke tanah kemudian diangkut kedalam kapal keruk. Tanah yang tergali dituangkan kedalam cungkiran atas (top tumbeler) untuk dipisahkan melalui saringan yang berputar.

Tanah yang telah dihancurkan, dibersihkan dan disaring oleh kekuatan pancaran air, dikeluarkan dari sebuah jet. Mineral (timah) yang tersaring selanjutnya diolah di dalam jig (alat pencuci) sehingga menghasilkan biji atau tin concentrate yang siap diangkut ke darat.

Untuk mengatur debit air dalam operasional kapal keruk dibangunlah pintu air (stuw atau sluits) sehingga dari bangunan pintu air dapat memudahkan pergerakan kapal keruk. Pintu air (stuw) yang dikenal masyarakat Belitung sebagai Jeramba Pice, kini fungsinya lebih diarahkan untuk objek wisata. Nama Pice diambil dari nama seorang arsitek berkebangsaan Belanda,Sir Vance. Bendungan dengan panjang tidak kurang dari 50 meter ini dibangun antara tahun 1926 hingga 1939 yang mempunyai 16 pintu pengatur air dengan ukuran dengan masing-masing 2,5 meter. Bendungan ini terletak di hulu sungai Lenggang, Kecamatan Gantung. Bendungan ini oleh perusahaan milik Belanda (NV.GMB) difungsikan untuk mengatur tinggi rendah permukaan air sehingga mempermudah eksplorasi kapal keruk.

Kapal keruk ” Eersteling ” pertama di Belitung dioperasikan pada tahun 1921 dengan instalasi pencucian menggunakan palong. (ERTS,1947), sedangkan Kapal keruk Dabo mempelopori penambangan timah di Indonesia yang dioperasikan di Singkep dengan tenaga uap berukuran 5 cuft dengan kedalaman gali 10 meter

Kapal Keruk Cerucuk dibuat pada tahun 1926 oleh perusahaan Werf Conrad untuk dioperasikan di Belitung dengan ukuran mangkok 7 cuft. Dengan demikian usia kapal keruk Cerucuk hingga saat ini (2006) berusia 80 tahun. Nama cerucuk adalah nama sungai yang merupakan salah satu lokasi penambangan timah di Belitung di masa Belanda.